Jati Diri Kepemimpinan Kresna (17) Rama Nitis
Darmakusuma duduk dihadap oleh Kresna, Wrekodara, Nakula, Sadewa, Samba dan Satyaki. Mereka membicarakan nasib Gathotkaca. Tiba-tiba Gathotkaca jatuh dari angkasa. Mengerang kesakitan, ia merangkak menghadap raja Darmakusuma. Kemudian Harjuna datang. Raja meminta agar Arjuna segera menolong Gathotkaca. Arjuna pun mengambil anak panah yang bersarang di perut Gathotkaca dengan anak panah pula. Maka Gathotkaca sembuh kembali.
Kresna ingat perjanjian yang diberikan oleh Ramawijaya dan Lesmana. Ia lalu minta ijin pergi bersama Arjuna ke Pancawati.
Di Pancawati, Ramawijaya, Lesmana dan Sugriwa tengah menanti kedatangan Anoman. Kemudian Anoman datang bersama Resi Brangtalaras. Ramawijaya minta kesediaan sang resi untuk menyembuhkan penyakit Sinta. Sang resi mendekati Sinta. Setelah diusap dahinya, sembuhlah penyakit Sinta. Lalu Sinta diserahkan kepada Ramawijaya. Resi Brangtapernali datang menghadap Ramawijaya. Dalam pertemuan itu Ramawijaya ingin menghadiahkan kerajaan Pancawati kepada Resi Brangtalaras sebagai upah pengobatan. Maka Resi Brangtalaras pun menjadi raja, sedangkan Resi Brangtapernali menjadi patihnya.
Raja Brangtalaras duduk di balai penghadapan, kemudian Cocakrawun datang menghadap, melapor kedatangan musuh dari Ngamarta. Patih Brangtapernali diminta menyambut kedatangan musuh. Maka Patih Brangtapernali terjun perang melawan warga Pandhawa. Ternyata Wrekodara, Arjuna Gathotkaca dan Satyaki tidak mampu melawan amukan Brangtapernali. Kresna segera datang menolong, dan senjata Cakra dilepaskan. Terkena Cakra, Brangtapernali berubah menjadi Srikandi. Raja Brangtalaras datang bersama Sinta. Kemudian Kresna melepaskan cakra. Terpanah Cakra, Brangtalaras berubah menjadi Sumbadra. Sedangkan Sinta lenyap setelah dicakra, menyatu dalam tubuh Sumbadra.
Bathara Guru, Bathara Narada, Bathara Panyarikan, Sambu dan Korawa berunding di Kahyangan. Bathara Guru menugaskan Bathara Narada supaya turun ke Marcapada. Anoman disuruh bertapa di Kendalisada, Wibisana diminta memerintah negara Singgela, sedangkan raja Sugriwa dan prajuritnya diminta agar masuk ke api korban, masuk ke Nirwana. Bathara Narada pun turun ke Marcapada.
Ramawijaya, Lesmana, Wibisana, Sugriwa, Anoman dan Anggada berbicara tentang persahabatan mereka dengan raja Brangtalaras dan Brangtapernali. Tengah mereka berbicara, datanglah Cocakrawun yang memberi tahu bahwa Brangtalaras dan Brangtapernali hilang di medan perang. Demikian juga Sinta.
Ramawijaya marah, lalu pergi ke medan perang. Kresna menyambut kehadiran Ramawijaya. Terjadilah perkelahian, tetapi tidak ada yang kalah. Ramawijaya ingat, pernah berjanji akan bersatu dengan manusia jelmaan Wisnu. Maka Ramawijaya bersatu dengan Kresna. Lesmana membela Ramawijaya, lalu berperang melawan Arjuna. Akhirnya Lesmana menyatu bersama Arjuna. Ternyata Arjuna tidak sanggup bersatu dengan Lesmana sehingga Lesmana dilepas dan menjelma ke dalam Baladewa. Tapi kemudian Lesmana lepas dari Baladewa, dan ingin menjelma kembali pada Arjuna. Arjuna sanggup menerima, tetapi menolak sikap wadatnya.
Anoman bergulat dengan Gathotkaca. Bathara Narada datang melerai, Anoman disuruh bertapa di Kendhalisada. Kemudian Bathara Narada menemui Wibisana dan menyuruh supaya menjaga negara Singgela. Setelah damai, semua perajurit dan warga Pandhawa oleh Kresna diminta kembali ke Ngamarta.
Raja Darmakusuma dihadap oleh Kresna, Wrekodara, Arjuna, Nakula, Sadewa, Gathotkaca dan Satyaki. Mereka menyambut kehadiran Sumbadra dan Srikandi.
Sugriwa dan prajurit kera yang setia datang menyerang kerajaan Ngamarta. Wrekodara, Gathotkaca dan Satyaki ditugaskan mengusir perajurit kera itu. Sang Hyang Narada datang menemui perwira prajurit kera. Mereka dikumpulkan kemudian disuruh masuk ke perapian agar masuk nirwana. Kera-kera kecil banyak yang mati oleh prajurit Ngamarta yang dipimpin oleh Wrekodara.
Kerajaan Ngamarta telah aman dan tenteram. Raja Darmakusuma mengadakan pesta besar bersama warga Pandhawa.
R.S. Subalidinata
(sumber cerita: Cerita Rama Nitis. KGPAA Mangkunagara VII. Serat Padhalangan Ringgit Purwa Jilid XXXVII. Batawi Centrum: Bale Pustaka, 1932,L.21-24)