SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA 3

Nyi Jogo Pertiwi (96 tahun), sedang mengisi cantingnya dengan bahan malam (wax).



Salah satu karya batik diambil dari www.trulyjogja.com

BATIK PAJIMATAN/IMOGIRI

Kegiatan tradisi membatik sudah ditekuni oleh masyarakat Imogiri, sejak masa Kejayaan Kerajaan Mataram seputar abad 17. Nyi Djogo Pertiwi adalah perempuan yang setia membina perkembangan batik tulis tradisional di Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta khususnya di seputar Makam Raja-Raja Mataram. Kreasi-kreasi kain batik yang telah dikembangkan oleh Nyi Djogo Pertiwi, kini menjadi karya-karya andalan yang diproduksi oleh perajin batik di Imogiri.

Keahlian batik warga sekitar, secara tidak langsung adalah keahlian Nyi Djogo Pertiwi, karena dialah yang menciptakan pola-pola batik dan kemudian menularkan keahliannya ke masyarakat. Membatik memang sejarah hidup Nyi Djogo Pertiwi, karena sejak umur 13 tahun dia sudah bergumul dengan batik. Awalnya dia seringkali melihat-lihat orang membatik di sekitar rumahnya, yang waktu itu memang menjamur. Tetapi pada waktu itu buat seorang Djogo Pertiwi kecil tidak pernah ada yang namanya proses belajar, hanya melihat. Bahkan keterampilan membatik yang dia miliki diperoleh secara supranatural, bukan karena belajar.

“Saya ini sejak kecil suka ikut ayah tirakat ke tempat-tempat ziarah. Dalam perjalanan siang dan malam saya selalu melihat daun-daun, rindang pohon berbagai warna dan macam. Saya suka dengan keindahan daun-daun itu”, kata ibu enam anak dengan nama kecil Salawatun ini. Keindahan alam itu nampaknya merasuk sekali dalam diri Nyi Djogo Pertiwi. Sampai pada suatu hari ketika dia pulang dari mengikuti ziarah ayahnya, tiba-tiba dia mencari bahan-bahan dan alat membatik. Tanpa banyak bicara Nyi Djogo Pertiwi muda waktu itu, langsung menari-menarikan canting, alat paling vital untuk melukis batik (berperan sebagai pena), di atas kain putih yang dibelinya. Gambar yang muncul adalah berbagai rangkaian daun-daunan yang indah. “Ibu saya sempat heran, melihat keajaiban yang saya lakukan”, tegasnya.

Namun untuk memperdalam keahlian yang datang mendadak itu, Nyi Djogo Pertiwi menjadi buruh membatik di Tjokro Soeharto Yogyakarta, yang waktu itu juga dikenal sebagai juragan batik terbesar di Yogyakarta. Di tempat belajar membatik Tjokro Soeharto itu Nyi Djogo Pertiwi makin tertempa pengalaman. Bahkan dia dipercaya untuk membuat kreasi-kreasi baru. “Setelah lama di Tjokro Soeharto, saya membatik sendiri di rumah. Dapat satu saya jual ke pasar. Lalu hasilnya untuk modal membuat dua kain batik. Laku dua bisa jadi empat kain batik, begitu seterusnya. Lama kelamaan saya bisa membawa 10 kain atau lebih saya setorkan ke toko-toko di Yogyakarta. Syukur usaha saya semakin berkembang sampai sekarang”, tegasnya.

Banyak karya batik yang di disain oleh Nyi Djogo Pertiwi. Karya-karya yang terkenal diantaranya adalah apa yang disebut dengan batik adiluhung, segaran, semen garuda, Irian dan masih banyak lagi disain yang ia ciptakan. Peristiwa menarik, ketika dia sedang membatik di depan rumahnya. Tiba-tiba datang beberapa orang warga Belanda yang langsung bertanya, “Kamu sedang membatik apa?” Pertanyaan itu dengan cepat dijawab oleh Nyi Djogo Pertiwi, batik ini namanya Irian. Peristiwa sekitar tahun 60an itu ternyata menjadi sejarah unik bagi kehidupan Nyi Jogo Pertiwi. “Saya tidak tahu kenapa saya menyebut Irian, yang jelas saya takut betul sama Belanda itu. Yang saya heran karya disain saya itu sampai sekarang dikenal dengan nama batik Irian”, katanya, sambil tertawa. Meskipun yang diucapkan oleh Nyi Djogo Pertiwi hanya spontan, tetapi dari karya batiknya itu terlihat adanya gambaran tentang kondisi Irian. Karya batik yang akhirnya menjadi bahan sarung itu, memang bergambar daun-daun lebar, yang menggambarkan kerindangan hutan di Irian Jaya yang konon disebut sebagai Papua itu.

Nama Djogo Pertiwi adalah nama suaminya, pemberian dari Keraton Yogyakarta sekitar tahun 60-70an. Sebelumnya ia dikenal dengan nama paringan dalem Djogo Mustopo. Nama itu diberikan karena sepanjang hidupnya suaminya mengabdikan diri untuk menjadi juru kunci di makam raja-raja tersebut. “Saya menyimpan ribuan kain batik di rumah ini, dan ternyata banyak orang yang datang baik warga asing maupun turis Indonesia”, kata Nyi Djogo Pertiwi yang mendapatkan piala Upakarti dari Presiden tahun 1994, karena usahanya mengembangkan batik tulis di tingkat pedesaan. Sepeninggal Nyi Djogo Pertiwi tahun 2003, kejayaan batik Pajimatan yang telah surut sejak tahun 1980-an, semakin sepi.

Sumber:

Kesetiaan Seorang Pembatik Tradisi

Mengenang Kejayaan Mataram di Pajimatan

Dari www.desaingrafisindonesia.wordpress.com