SEJARAH BATIK LASEM
Bila orang menyebut batik Jawa Tengah tentu segera menyebut Solo, Jogja, Pekalongan dan Banyumas sebagai sentra perajin batik. Padahal selain empat daerah tadi masih ada daerah lain yang juga menghasilkan batik tulis yang tidak kalah indahnya, yaitu Lasem.
Nah di Lasem inilah sehat dengan reiki bersama kerabat kerja produksi film 28 tahun silam berkunjung dan menyapa penduduk di sini.
Namun dalam kunjungan kedua kalinya saat ini yang bisa saya saksikan dari Kota Lasem adalah terpeliharanya warisan budaya Etnis
Kota kecamatan Lasem terletak 12 km arah timur Ibukota Kabupaten Rembang berbatasan dengan Laut Jawa sebelah Utara luasnya 45,04 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 44.879 orang ( Litbang Kompas, 2003 ). Di
Batik produksi Lasem bercorak khas dengan warna merah darah ayam yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari daerah lain. Kekhasan lain Batik Lasem ini terletak pada coraknya yang merupakan gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara Jawa Tengah serta Budaya Keraton Solo dan
Konon para pedagang Tionghoa perantauan yang datang ke Lasem memberi pengaruh terhadap corak batik di daerah ini. Bahkan banyak pedagang ini yang kemudian beralih menjadi pengusaha batik di
Menurut sejarah industri batik nusantara kehadiran batik Lasem ini sudah ada sejak berabad silam, sempat menjadi komoditi di Asia dan sempat mengharumkan
Pengaruh keraton juga ikut mewarnai corak, motif dan ragam batik tulis Lasem ini. Terbukti dengan adanya motif/ornamen kawung dan parang. Pengaruh budaya
Ketika membuat desain motif batik tulis para pengusaha batik Lasem sangat dipengaruhi budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Misalnya terdapat corak ragam hias burung Hong dan binatang legendaris kilin atau singa. Bahkan cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem ini. Oleh karena itu batik tulis Lasem ini kemudian dikenal sebagai batik Encim tadi.
Batik Lasem bisa bersaing dengan batik Solo karena motifnya yang unik dan pernah diekspor ke
Pada masa kejayaan batik tulis Lasem setiap rumah tinggal orang Tionghoa mengusahakan pembatikan dengan merekrut tenaga pembatik dari daerah desa sekitar Lasem, seperti Sarang dan Pamotan. Tenaga kerja ini melakukan pekerjaan sebagai sambilan saat menunggu musim panen dan musim tanam padi di sawah. Nah karena tenaga kerja yang direkut adalah petani desa sekitar Lasem, pada saat musim tanam dan panen padi mereka pulang ke desa. Akibatnya tenaga pembatik ini berkurang dan dengan sendirinya proses produksi batik terganggu. Anak pengusaha batik pun lebih senang bekerja sebagai pegawai kantor dan merantau keluar
Menurut Sigit Wicaksono pengusaha batik tulis Lasem yang pernah diwawancarai Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, “Teknologi sablon ikut andil mematikan Batik tulis Lasem ini. Batik sablon harganya sekitar Rp. 25.000,- per lembar jauh lebih murah dari batik tulis yang harganya ratusan ribu rupiah per lembar,” katanya sambil terus tetap bertahan menjadi pengusaha batik demi menghidupi karyawannya yang tinggal beberapa orang ini. “Kasihan kalau saya tutup pabrik ini, mereka akan bekerja di mana? ungkapnya.
Apakah batik tulis Lasem hanya akan tinggal kenangan saja mengingat generasi penerus pengusaha ini sudah tidak mau meneruskan usaha orang tuanya ini? Tentunya kita semua berharap kejayaan batik tulis Lasem akan tetap bertahan lalu bangkit menjadi besar kembali seperti jaman dulu. Entah kapan waktu yang akan menjawabnya.
Sehat dengan reiki menulis dari Lasem untuk Vtr Editing.
Tulisan artikel ini diambil dari:
http://vtrediting.wordpress.com/2009/03/22/sejarah-batik-lasem/